Ilustrasi kelapa kawit. (Foto: BeritaSatu/Mohammad Defrizal) PT BESTPROFIT FUTURES JAMBI - Kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) dalam pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) Crude Palm Oil (CPO) sebagai pemenuhan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang akhirnya berujung tuduhan korupsi menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahaminya. Adapun tuduhan korupsi PE minyak goreng berawal dari aturan pemerintah terkait dengan 20% kewajiban DMO, dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya. PT BESTPROFIT “Aturan tersebut syarat mutlak bagi para produsen CPO dan turunannya untuk mendapatkan PE CPO dan turunannya ke luar negeri. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya kelangkaan dan pelambungan harga tinggi komoditas minyak goreng sejak akhir 2021,” kata Praktisi Hukum Dr. Hotman Sitorus, S.H., MH, di Jakarta, Selasa (13/9). Menurut Hotman, sejatinya tuduhan korupsi dalam kasus minyak goreng dengan melanggar ketentuan Pasal 25 dan Pasal 54 ayat (2) huruf a, b, e, f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, telah menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahaminya. “Karena pasal tersebut sebenarnya mengatur pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang menjadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah untuk pengendalian ketersediaan barang di seluruh wilayah NKRI dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau,” tegas Hotman. BEST PROFIT BESTPROFIT Sehingga pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mendorong peningkatan dan melindungi produk barang kebutuhan pokok dan barang penting dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional. Hotman menjelaskan, sesuai penjelasan yang dimaksud dengan barang kebutuhan pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, mentega, daging sapi, daging ayam, telur ayam, susu, jagung, kedelai, dan garam beryodium. Sedangkan yang dimaksud barang penting adalah barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, seperti pupuk, semen, serta bahan bakar minyak dan gas. Sehingga, Pasal 54 ayat (2) pemerintah dapat membatasi ekspor. “Jika diperhatikan dari ketentuan Pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, maka ini adalah tugas pemerintah dan pemerintah daerah, bukan tugas pelaku usaha,” tegas dia. PT BESTPROFIT FUTURES BPF Jika pemerintah menghendaki pelaku usaha swasta untuk terlibat didalamnya tentunya semua dikembalikan kepada pemerintah. “Namun di Pasal 25 ini tidak serta merta pelaku usaha disalahkan karena pelaku usaha mengikuti ketentuan pemerintah, terutama terkait dengan pengurusan persetujuan ekspor,”ujarnya. Lanjutnya, jika izin ekspor dilarang, Indonesia bisa dicap sebagai negara yang tidak taat hukum meskipun kegiatan ekspor-impor ini bersifat bisnis to bisnis. Perusahaan eksporti akan mengalami klaim dari buyer/importir, terlebih jika pemenuhan ekspor tersebut untuk pemenuhan sebelumnya. Disini tentu akan terjadi kerugian yang dialami oleh perusahaan eksportir dan penerimaan negara yang bersumber dari Pungutan Ekspor (PE), Biaya Keluar (BK) dan biaya lainnya yang nilainya cukup besar. “Perubahan kebijkan yang berubah-ubah tentunya sangat berdampak kepada kondisi pemenuhan minyak goreng yang terjangkau dan pemenuhan perusahaan untuk ekspor,” jelasnya. Tata niaga minyak goreng sesungguhnya tidak akan kekurangan bahan baku apabila pemerintah tidak panik. Karena kelangkaan minyak goreng akibat dari naiknya harga CPO dan turunannya di pasar internasional. “Kepanikan pemerintah ternyata menyebabkan keterpurukan bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dan petani kelapa sawit yang kondisinya sampai saat ini belum dapat dipulihkan,” kata Hotman. Persoalan Distribusi Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan pemerintah yang menerapkan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau DMO adalah mengulang kesalahan masa lampau. Sebab masalah mahalnya minyak goreng itu ada di persoalan distribusi.“Meski supply berlimpah, selama distribusi dikendalikan swasta, margin keuntungan dari tiap titik distribusi akan sulit dikendalikan,” kata Bhima kepada media beberapa waktu lalu. Bhima menambahkan, pelaksanaan DMO memerlukan kerja sama antara Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai. Dengan demikian, volume ekspor minyak goreng per perusahaan bisa diverifikasi. Dia juga menyoroti tumpang-tindih antarkementerian dalam mengurus masalah minyak goreng. Bhima menyarankan distribusi minyak goreng ditangani oleh satu entitas, yakni Bulog. Dengan begitu, pengawasan terhadap distribusinya pun jauh lebih transparan. Sedangkan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, perubahan kebijakan yang cepat pasti menghambat dan mengurangi daya saing industri kelapa sawit. “Gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO CPO mirip kebijakan zaman jahiliah, selain berisiko, mekanisme ini juga sulit dijalankan,”kata Tungkot. Tungkot menjelaskan, sebagai negara produsen sekaligus komsumen terbesar CPO di dunia, pemerintah Indonesia bersama berbagai asosiasi sawit pada 2011 telah membuat grand policy industri sawit dengan mekanisme kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK), hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia."Kombinasi kebijakan ini bagus sekali untuk mewujudkan kepentingan Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar. Tujuan utamanya, untuk menyeimbangkan ekspor dan kepentingan domestik," kata Tungkot. Menurut Tungkot, dengan mekanisme ini mudah diterapkan, jika harga CPO di pasar global tinggi maka tinggal menaikkan PE dan BK agar tidak semua produksi CPO terserap untuk pasar ekspor. Kemudian saat harga rendah, pemerintah tinggal menurunkan PE dengan tujuan meningkatkan serapan dalam negeri.Hal ini berbeda dengan kebijakan DMO dan DPO, yang sering menimbulkan masalah. Apalagi gonta-ganti kebijakan justru menimbulkan berbagai persoalan. Selain itu, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO akan menimbulkan ketidakpastian berusaha karena berpijak diluar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya. Gonta-ganti kebijakan, kata Tungkot, selain menimbulkan ketidakpastian berusaha juga membuat risiko rawan akan pelanggaran. "Yang benar dalam kebijakan yang lalu bisa menjadi salah di kebijakan berikutnya. Itulah, maka pengusaha menjadi korban dalam kebijakan tersebut. Kita melihat jika ada kasus hukum yang menyimpang, kita hormati proses hukumnya. Ke depan jangan sampai kebijakan yang dibuat justru membawa korban," kata dia. Jakarta, Beritasatu.com
0 Comments
Leave a Reply. |
BPF NEWSPT BESTPROFIT FUTURESArchives
September 2023
Categories
All
|