Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah lebih dari 1% pada perdagangan sesi pertama Rabu (4/10/2023). Indeks tercatat secara eksklusif bergerak di zona merah dan sempat ambles dalam hingga 1,45% ke 6.839,86 sebelum akhirnya memangkas pelemahan pada akhir penutupan sesi pertama ke 6.867,69 atau turun 1,05%.
Meski diperdagangkan merah, pasar modal tercatat relatif ramai. Nilai transaksi IHSG sesi I hari ini mencapai Rp 6,75 triliun dengan melibatkan 14,12 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 871 ribu kali. Sebanyak 109 saham menguat, 433 saham melemah dan 190 saham stagnan. Baca: Tiba-tiba Rontok 1,45%, Begini Potensi Nasib IHSG ke DepanSeluruh sektor perdagangan bursa berakhir merah hari ini, dengan pelemahan terbesar terjadi di sektor barang baku yang ambles 2,84%. Lalu diikuti oleh sektor transportasi yang melemah 2,73% dan sektor energi tertekan 2,23%. Adapun sektor keuangan yang memiliki bobot terbesar di IHSG tercatat tergelincir 0,65% Sementara pelemahan paling kecil dicatatkan oleh sektor teknologi yang turun 0,50%. Saham-saham blue chip kapitalisasi raksasa masih menjadi mesin pendorong ambruknya IHSG hari ini. Secara berurutan 5 emiten dengan sumbangsih penurunan indeks poin terbesar yang menyeret IHSG ambruk masing-masing adalah Barito Pacific (BRPT), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), Astra Internasional (ASII) dan Bayan Resources (BYAN). Baca: Saham Tambang Bikin IHSG Tumbang 1% LebihSecara spesifik emiten tambang juga menjadi salah satu penyebab utama tumbangnya IHSG hari ini, dengan setengah dari 20 emiten yang menyeret IHSG turun (laggard) merupakan emiten tambang. Hal ini terkonfirmasi dengan 2 dari 3 sektoral dengan penurunan terbesar adalah barang baru dan energi. Kabar dari AS Bikin Investor PanikPelemahan yang terjadi di pasar keuangan Indonesia tidak spesifik, melainkan juga dirasakan oleh banyak negara lain akibat kabar buruk dari Amerika Serikat. Sentimen tersebut adalah terkait kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) yang kembali menjadi kekhawatiran pasar dan membuat pasar saham global kembali terpuruk. Yield Treasury acuan tenor 10 tahun naik 19 basis poin (bp) ke posisi 4,821%, nyaris menyentuh 5% dan menjadi yang tertinggi sejak 2007 silam. Masih melonjaknya yield Treasury terjadi karena prospek era suku bunga tinggi sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat, membuat pasar semakin khawatir. Inventor kini memprediksi suku bunga dapat lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Biaya pinjaman yang lebih tinggi berdampak negatif bagi dunia usaha dan konsumen. Menurut Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic mengatakan tidak ada urgensi bagi bank sentral untuk menaikkan suku bunga kebijakannya lagi, namun kemungkinan akan memakan waktu yang lama sebelum penurunan suku bunga dianggap tepat. Sedangkan menurut Presiden The Fed Cleveland, Loretta Mester mengatakan dia terbuka untuk menaikkan suku bunga lagi, kemungkinan pada pertemuan bank berikutnya. Sementara itu, ekspektasi pasar mengenai kebijakan ketat The Fed semakin kencang. Perangkat FedWatch Tool menunjukkan sekitar 30,9% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bp pada November mendatang. Angka ini lebih besar dibandingkan pekan lalu yang hanya 14%. Di lain sisi, data menunjukkan lowongan pekerjaan di AS secara tak terduga meningkat pada bulan Agustus, memicu kekhawatiran tentang ketatnya pasar tenaga kerja menjelang laporan utama pekerjaan bulanan AS pada Jumat pekan ini. Jika data tenaga kerja Negeri Paman Sam masih cukup kuat, maka The Fed berpotensi belum akan merubah sikapnya menjadi dovish. Apalagi, jika inflasi AS di bulan-bulan berikutnya masih jauh dari target yang ditetapkan The Fed di 2%, maka The Fed juga akan 'kekeuh' mempertahankan sikap hawkish-nya. Surat Utang RI Dilego, Rupiah AnjlokPelemahan IHSG terjadi berbarengan dengan pelemahan rupiah dan pasar obligasi pemerintah Indonesia juga ikut terpantau merana. Berdasarkan data dari Refinitiv per pukul 10:21 WIB, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang merupakan acuan obligasi pemerintah RI naik 2,7 basis poin (bp) ke posisi 7,052%, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan kemarin di 7,025%. Diketahui, yield SBN tenor 10 tahun sudah bertahan di kisaran 6,9% sejak Selasa pekan lalu, di mana kenaikannya sudah mencapai 13,3 bp. Bahkan sejak 4 September lalu, kenaikan yield SBN tenor 10 tahun sudah mencapai 68 bp, di mana saat itu yield SBN tenor 10 tahun masih di 6,42%. Naiknya yield SBN menandakan bahwa harganya sedang mengalami penurunan dan investor sedang melepasnya. Sementara itu, rupiah menembus level psikologis Rp15.600/US$ dan bahkan menyentuh angka Rp15.630/US$ atau melemah 0,39%. Pelemahan ini terjadi karena indeks dolar (DXY) terpantau terus mengalami kenaikan karena pasar masih mengharapkan The Fed untuk tetap hawkish. Dalam empat hari terakhir DYX menguat secara konsisten dan signifikan. Pada 29 September tercatat DXY berada di angka 106,22 dan pada hari ini DXY berada di posisi 107,11 atau naik 0,83% dalam empat hari. Apresiasi DXY telah terjadi sejak pertengahan Juli 2023 yang berada di kisaran 99,9 hingga terjadi penguatan sebesar lebih dari 7% dalam waktu kurang dari tiga bulan saja. Tidak sampai di situ, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun juga ikut mengalami apresiasi bahkan per hari ini menyentuh angka 4,84% atau telah naik 5,9% dari 29 September yang berada di posisi 4,57%. Kenaikan imbal hasil AS ini semakin menarik investor untuk masuk dan memberikan capital inflow kepada AS atau dengan kata lain, negara-negara emerging market seperti Indonesia semakin ditinggalkan (terjadi capital outflow).
0 Comments
Leave a Reply. |
BPF NEWSPT BESTPROFIT FUTURESArchives
September 2023
Categories
All
|